JASMINE
Pagi yang cerah membuatku makin bersemangat untuk menemui pujaan hatiku. Ku kayuhkan sepeda tuaku menyusuri jalan setapak. Anganku hanya tertuju oleh sosok wanita cantik berkerudung merah itu. Jasminelah orangnya, pemilik senyuman manis yang kini telah menjadi kekasih hatiku.
Setiap hari kami selalu bertemu di jembatan ini,” Jembatan Cinta” begitulah kami menyebutnya. Kami bertemu diwaktu yang salah. Aku yang saat itu tengah membawa barang belanjaan dari pasar, tak sengaja menabrak jasmine yang sedang asyik menikmati semilir angin dari pinggir jembatan.
Sesampainya dijembatan, Jasmine telah menungguku dengan raut muka yang mengkin bisa dibilang “Marah”. Begitulah watak kekanak-kanakannya ketika apa yang ia inginkan tak kunjung ia dapatkan. Hanya kata maaf yang bisa ku katakana.
Waktu terus berlalu begitu cepat. Hingga tak sadar kami telah menghabiskan sisa siang hari ini untuk bercengkrama dipinggir jembatan. Kami pun berpamitan pulang.
Tak henti-hentinya aku membayangkan paras ayunya. Jasmine, jasmine, jasmine. Aku pun tersenyum. Sudah setahun lebih kami pacaran. Dan sudah setahun lebih pula kami melakoni ritual temu ini. Sebenarnya ada rasa bosan yang ku rasakan. Namun, ego yang Jasmine miliki tlah menciutkan nyaliku. Aku takut kehilangan dia. Aku berfikir apakah kami akan bertahan atau tidak.
Berhari-hari, Berminggu-minggu dan berbulan-bulan rasa bosan itu terus ada dihatiku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjauhi dirinya. Jasmin yang merasakan perubahanku akhirnya mulai meminta penjelasan. Tapi hanya bualan yang ku berikan.
Jujur aku tak tau dengan apa yang ku rasakan. Apakah rasa sayang yang dulu ku miliki masih ada atau tidak. Aku berusaha bertahan dengan semua keadaan ini.
Pada suatu sore, langit yang mendung membuatku terpikir akan sosok Jasmine. Banyak kenangan yang telah kami lalui bersama. Aku mulai merasakan hangatnya tatapan itu. Andai saja Jasmin mau merubah sedikit egonya, mungkin aku akan mempertahankannya. Namun apa daya, Hatiku berkata lain.
Dua hari kemudian kami resmi berpisah. Diakhiri dengan ribuan tetes air mata yang Jasmine keluarkan. Tak tega aku melihatnya. Beruang kali ia memintaku penjelasan, tapi aku hanya bisa terdiam membisu. Maaf, Maaf, Maafkan aku Jasmine.
Lima tahun kemudian aku menikah dengan seorang wanita berdarah china, Leni namanya. Kami saling menyayangi. Kami tinggal disebuah rumah mewah tempat Leni tinggal. Belum genap 1 tahun usia pernikahan kami, rumah tangga kami hancur. Aku memergoki istriku tengah tidur bersama laki-laki lain. Betapa sakit hati ini. Rumah mewah nan megah ini ternyata hasil Leni menjajakan tubuhnya kepada para lelaki hidung belang. Esok harinya aku menggugat cerai istriku itu.
Seminggu kemudian aku resmi berpisah dengan Leni. Kami menjalani kehidupan kami masing-masing. Aku pun memutuskan untuk pulang kekampung halaman. Sesampainya disana, ku istirahatkan kakiku sejenak. Sudah lima tahun setelah aku berpisah dengan Jasmine aku pergi dari rumah ini untuk merantau. Rumah yang aku angap sebagai rumah surga duniawi yang mampu memberiku kenyamanan. Kemudian kenangan itu mulai menghampiri. Kenangan dimana aku biasa duduk berdua dengan Jasmine menikmati pemandangan lautan sawah yang begitu asrih. Naluriku kemudian menuntunku untuk mengingat-ingat kenangan manis dengan Jasmine. Kukayuhkan sepeda tuaku menuju jembatan cinta, dimana aku seharusnya berada. Dari kejauhan kulihat sosok Jasmine tengah berdiri dipinggir jembatan. Sungguh raut muka senang yang ku pancarkan. Tapiapa yang ia lakukan disini?? Sedang apa dia?? Pertanyaan itu mulai memadati kepalaku. Hingga akhirnya seorang pedagang kaki lima yang tengah berjualan memberitahuku. Setiap hari dari pagi hingga sore Jasmine selalu berdiri disitu dan itu sudah ia lakukan selama 5 tahun semenjak ditinggal kekasihnya. Sungguh perasaan sesal yang ku rasakan. Ternyata setelah kami berpisah, Jasmine masih setia menungguku dijembatan ini. Ku sandarkan sepedaku dan berjalan mendekatinya. Ku tepuk bahunya dan ketika ia melihatku, ia kaget lalu memelukku. Aku pun mulai merasakan hangatnya dekapan yang sudah lama tak kurasakan. Bahkan dekapan Leni tak sehangat dekapan Jasmine. Air mata mulai menetes dari mataku, dan Jasmine hanya tersenyum kecut menahan air matanya. Setelah kami berpisah, Jasmin masih mengingat janjiku pada dirinya bahwa aku akan kembali padanya kelak. Maka, Jasmine pun tak pernah berfikir untuk melupakan janji itu. Ia selalu bersabar menunggu kehadiranku hingga saat ini. Sungguh menyesal hatiku karna tlah menelantarkan kasih sayang dan cinta Jasmine. Ku kecup keningnya dan mulai berpelukan kembali. Ku ceritakan statusku padanya. Namun, ia hanya tersenyum ikhlas dan menerimaku kembali menjadi kekasihnya meski aku tlah menghianati cintanya.
0 komentar:
Posting Komentar